Sunday, June 12, 2011

Pengorbanan Untuk Negara

kali ini gua ngepost cerpen, yang sebenarnya gua ga bisa ngerjainnya, makanya hasilnya bisa lu nilai sendiri, silahkan baca cerpen gua di bawah ini!!


KUSEBUT ITU IMPIAN

“kemana lu ni hari?”, tanyaku sambil berusaha menyapu kantuk.
“gua ada urusan di jakarta”,  jawab Ari sekenanya, sambil mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya, ”nyokap gua minta gua pulang, bokap masuk rumah sakit.”
“kenapa lagi bokap lu?”, tanyaku lagi yang sudah cukup segar.
“kayaknya kambuh lagi deh, kemaren pas gua tanya nyokap, ga dijawab, cuman panik-panik aja nyuruh gua balik.”, jawabnya dengan keadaan sudah siap berangkat.
“yaudah, hati-hati di jalan lu, doain gua juga ya, pengunguman juga hari ini.”
“oke bro, gua berangkat ya, jaga rumah lu!”
“yoi.”, jawabku sambil mengacungkan jempol ke arah Ari yang beranjak pergi.
Ari adalah anak tunggal dari pasangan yang kayaraya, beda 180 derajat dengan keadaanku yang berasal dari keluarga miskin, namun tuhan maha adil, kami di pertemukan sebagai seorang sahabat yang saling melengkapi, berawal dari pertemuan saat masa orientasi SMA atau yang biasa dikenal MOS, kami yang sama-sama baru masuk sebagai siswa kelas sepuluh dan harus tunduk sepenuhnya kepada kakak kelas saat itu, walaupun akhirnya kami berdua mendapat posisi itu pada tahun berikutnya. Hampir setiap waktu kami pakai bersama, nasib pun berkata demikian yang membawa kami berada satu kelas selalu sampai kami merasakan indahnya lulus ujian nasional untuk kedua kalinya, dan sampai hari ini pun kami terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi yang sama, yaitu Institut Teknologi Bandung atau biasa di kenal ITB, keluarga kami pun sudah saling mengenal, sudah beberapa kali keluarga Ari membantuku menyelesaikan sekolah, karena keterbatasan biaya yang dialami keluargaku, sebenarnya Ayahku adalah seorang PNS tetap di Jakarta, namun karena saudara kandungku yang mencapai 5 bersaudara, gaji beliaupun tak cukup untuk membiayai kami semua sekolah, dan dengan bantuan keluarga Ari lah semua adik-adik ku dan aku bisa meneruskan sekolah yang memang pada saat itu biaya sekolah sangatlah menjadi beban untuk keluarga-keluarga seperti keluargaku. Ayah Ari akhir-akhir ini memang sering masuk-keluar rumah sakit, kerusakan pada bagian ginjalnya memaksanya untuk berkali-kali untuk masuk ruangan pasien untuk mencuci darah, hal ini juga yang membuat Ari telat untuk menyelesaikan kuliahnya karena harus membantu Ibunya mengurus Ayahnya yang membuat dia tidak focus untuk menyelesaikan kuliah, padahal sanak saudara Ari banyak yang tinggal di sekitar Jakarta, tapi hanya sedikit yang berniat membantu, jadilah seorang Ari harus bolak-balik Jakarta-Bandung untuk menjaga Ayahnya dan meneruskan usahanya dan juga sedikit demi sedikit dia menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertinggal.
Dengan setengah berlari aku mengejar mobil angkutan kota yang terakhir melewati daerah rumahku, rumahku dan rumah Ari cukup jauh, aku harus sekali menaiki mobil angkutan kota terlebih dahulu, baru bisa bisa mencapai rumah Ari. Setiap pagi aku harus bangun lebih pagi agar tidak telat masuk sekolah karena sebelumnya harus membantu Ayah dan Ibu dulu, sebenarnya biasanya aku diantar Ayah ke sekolah, karena sejalan dengan arah menuju kantornya, namun hari ini Ayah harus berangkat lebih pagi dari sebelumnya karena urusan di kantornya. Akhirnya aku sudah duduk tenang di dalam mobil angkutan kota, mobil ini akan membawa ku ke depan perumahan Ari dalam 15 menit, di sanalah Ari biasa menungguku untuk pergi bersama ke sekolah dan juga memang disitulah aku harus turun dari mobil angkutan, untuk menaiki mobil angkutan dengan arah lain, yaitu ke arah sekolah. Dari sana mobil angkutan akan membawa kami ke sekolah dalam 10 menit, kalo di kalkulasi memang cukup lama perjalanan ku untuk mencapai sekolah, sehingga tak jarang aku terlambat masuk sekolah dan harus memohon-mohon kepada pak Rosadi, satpam sekolah kami untuk membukakan pintu gerbang kembali, untungnya pak Rosadi sangat baik dengan selalu membukakan pintu gerbang. Hari ini adalah hari pertama belajar di tahun terakhir kami di sekolah, kelas 3 SMA, kami akan menghadapi ujian nasional yang menjadi momok banyak siswa SMA karena susahnya lulus dari ujian yang satu ini, tidak sedikit yang memakai jalan pintas untuk lulus dari ujian ini, yaitu dengan membeli jawaban kepada seseorang yang menawarkan jasa untuk itu, mengapa ini terus-menerus berjalan? Karena hasil yang di dapat juga memuaskan, yaitu dengan pertukaran sejumlah uang yang cukup besar jumlahnya dengan jawaban dari ujian nasional dengan kebenaran hampir 100%, namun tak sedikit juga yang tertipu dengan hal ini, sudah membayar dengan harga cukup mahal, namun hasil yang didapat mengecewakan dan ada juga yang tidak lulus. Kembali pada cerita, Ari dan aku berada dalam satu kelas, kelas 3F, kelas ini menjadi awal perjuangan kami untuk lulus ujian, tak jarang kami berbagi cerita tentang segala hal, termasuk tentang impian kami, Ari ingin sekali menjadi seorang teknisi perminyakan, Ari suka sekali dengan laut, beberapa kali aku diajak Ari pergi ke kepulauan seribu saat liburan sekolah, bekerja ditengah laut adalah impiannya, karena bisa selalu bersama dengan laut, katanya. Sementara impian ku menjadi seorang ahli komputer, sejak pertama kali melihat komputer di laboratorium komputer sekolah yang sangat menarik perhatianku, ingin sekali aku menguasainya, sehingga guru komputerku yang killer itu tidak akan lagi membentakku jika aku salah mengerjakan tugas yang beliau beri, karena aku sudah ahli dalam hal itu, namun aku punya impian lain yang sejak kecil dulu sangat aku inginkan, yaitu pergi ke luar negeri, mendengar cerita-cerita Ayah yang menceritakan tentang bos-bosnya yang sering bolak-balik dari luar negeri, karena itu aku bertekad untuk bisa melanjutkan sekolah tinggi di luar negeri.
Hari-hari kelas 3 kami diisi dengan mengisi terus otak kami dengan pelajaran-pelajaran, jika sudah mencapai batasnya, sejenak kami berhenti untuk beristirahat dengan menggunakannya dengan olahraga atau hal-hal yang dapat membuat otak kami menjadi lebih segar, begitu sudah merasa segar kami mulai belajar kembali, kami bertekad untuk bisa mendapatkan beasiswa, selain karena prestisius dengan beasiswa kami tidak perlu lagi mempersoalkan masalah biaya, apalagi seperti aku yang berasal dari keluarga miskin, biaya sekolah menjadi kebutuhan tersier yang jika tidak terlalu di perlukan, tidak didapat juga tidak apa-apa, namun karena Ayah sangat ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak dan menjadi orang besar di masanya, beliau sangat mengusahakan kami agar terus dapat bersekolah, mendapat pelajaran yang sesuai dan mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Kami terus mencari cara untuk mendapatkan beasiswa, sampai akhirnya guru kami, pak Guntur yang merupakan wali kelas kami juga, berhasil mendapatkan informasi mengenai beasiswa yang kami inginkan. Berkas-berkas kami lengkap, kartu ujian, hari ini merupakan hari tes, yang akan membawa kami ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, berangkat bersama Ari dengan mobilnya, “lihatlah, kami pantas untuk sekolah !!!” teriakku sesampai di tempat ujian.

Hari-hari terus berlanjut, hingga akhirnya ujian nasional ada di depan mata, dengan bekal yang sudah kami persiapkan selama 3 tahun dan doa-doa yang selalu kami panjatkan setelah selesai shalat, kami siap untuk mengerjakan soal-soal ini. Soal demi soal, hari demi hari, hingga hari pengunguman tiba, tak sabar untuk melihat di sekolah, aku mengajak Ari untuk berangkat sekolah lebih pagi, masih lama waktu menunjukkan gerbang harus ditutup oleh pak Rosadi, aku dan Ari sudah berada di sekolah untuk melihat hasil dari ujian nasional yang tertempel di mading sekolah, ternyata teman-teman kami yang lain mempunyai pikiran yang sama, mading sekolah sudah ramai dikerubungi oleh siswa kelas 3, dengan teknik nyelap-nyelip ala Valentino Rossi, aku berhasil melihat kertas pengunguman dengan jelas, setelah melihat namaku dan nama Ari tertera di kertas tersebut, aku langsung memeluk Ari dan kami bergembira bersama seletah tahu, kami lulus ujian dengan mendapat nilai yang memuaskan.
“nak, kamu dapat beasiswa, Alhamdulillah ya Allah,” teriak Ayah hingg membangunkan ku.
“ha? Iya? Alhamdulillah,” jawabku yang langsung bangun dari tidur.
Aku langsung menuju ke rumah Ari seketika itu, ternyata Ari pun mendapatkan hal yang sama, kami berdua mendapatkan beasiswa dengan jurusan yang diinginkan. Seminggu kemudian kami beranjak ke Bandung untuk menyelesaikan administrasi dan menentukan tempat tinggal, karena Ari sudah beberapa kali ke Bandung, jadi kami tidak sulit untuk menentukan tempat kos yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kami selama belajar di kota kembang ini. Kami menjalani hari dengan penuh senyuman, hingga aku teringat kembali akan impian ku untuk sekolah di luar negeri, beberapa cara coba aku tempuh, mulai mencari di internet tentang beasiswa-beasiswa di luar negeri, hingga bertanya pada dosen-dosen ku yang lulusan universitas di luar negeri, akhirnya aku mendapatkan satu cara yang sesuai kemampuanku.
“yakin lu, mau ikut ini?” Ari bertanya dengan ragu.
“yakin lah, emang kenapa?”
“it’s oke, gua doain lu, berjuang boy”
“tenang aja, gua ga bakal ngelupain lu”
“doain juga ni, bokap gua keluar-masuk rumah sakit terus.”, Ari berkata dengan cemas. “gua harus bolak-balik Jakarta-bandung, harus jaga bokap juga.”
“terus kuliah lu gimana?”, tanyaku yang ikut cemas.
“bisa belakangan yang penting, bokap gua dulu ni”, tampak wajah cemas di muka Ari.” Sori ye gua ga bisa temenin lu belajar, hahaha”
“yaelah, tenang aja itu mah”
Setelah Ayah dan Ibu pun memberi dukungan setelah ku beritahu lewat telepon, aku pun mendaftarkan diri. Seminggu kemudian tesnya pun di gelar, dengan semangat persahabatan yang diberi Ari, aku siap ke luar negeri. Aku pulang dengan rasa cemas, karena kemampuanku tidak sesuai dengan soal-soal tes yang diberikan, walaupun tetap ada rasa optimis, karena sebelum tes ini, aku sudah mendapat pelajaran tambahan dari dosen-dosen ku di kampus.
tin.tiiiiiinnn… suara klakson tukang pos mebangunkan ku.
“iya pak ada apa”, tanyaku sambil membuka pintu.
“ini ada surat buat saudara Fahmi, bener ini alamatnya?”
“iya, benar, saya sendiri”
“yasudah, anda tanda tangan di sini, sebagai tanda terima.”, kata tukang pos sambil menyodorkan selembar kertas.

Setelah menerima surat tersebut, aku kembali ke dalam rumah. Ternyata surat tersebut berasal dari agen yang mengadakan beasiswa yang aku ikuti bulan lalu, dengan deg-degan aku membaca surat tersebut, kata demi kata aku baca surat berbahasa inggris ini, “Congratulation, Mr. Fahmi Priyatna you get a scholarship to study in America.” Begitu sepenggal isi dari surat tersebut, tak lama kemudian dengan hati gembira, aku langsung mengabarkan Ayah dan Ibu di rumah, mereka pun ikut gembira mendengarnya, tinggal Ari yang aku belum beritahu. Tidak bisa di hubungi, Ari pun tak memberi tahu ku kabar tentang ayahnnya, dengan hati cemas, berharap Ari baik-baik saja, aku terlelap kembali dalam mimpi.
Tenenet.net.net.net.neeeeettt.. bunyi telepon genggam ku tanda ada seseorang yang menelepon.
Aku angkat dengan rasa malas, ternyata diujung telepon sana, Ari berbicara.
“woy, bro, kenapa lu nyariin gua, sori tadi hape gua mati” kata Ari dengan gembira.
“mau ngabarin lu aja, gua dapet tu beasiswa, kenapa lu? Kayaknya seneng banget, gimana bokap lu?”
“iye??!! Asik dah, selamat bro, berangkat kapan lu? Bokap gua baru selesai operasi, ga lama lagi bisa keluar rumah sakit, ya mudah-mudahan bisa sembuh total”
“masi 3 bulan lagi, Alhamdulillah, salam dah buat bokap lu”
“oke sob, udah dulu ye, gua harus ngurus administrasi”, kata Ari dengan buru-buru.
“sip dah”, balas ku seadanya.
Ari pun menutup telepon, dengan perasaan senang bahwa ternyata Ari tidak apa-apa, “INI IMPIAN GUA WOY!!!”, teriak ku dengan lantang.

bukan maksud mau jadi penulis, tapi ini tu merupakan hal terpaksa supaya gua naek kelas, kalo engga dikerjain, kan malu juga masa gagalnya di bahasa indonesia, orang gua orang indonesia, masa bahasa indonesia gabisa, ya bisa juga dibilang pengorbanan buat negara juga, mulai dari kayak gini, hal-hal kecil, bisa menjadi awal buat perngorbanan-pengorbanan yang lain, apalagi kalo sampe membuat bangga negara sendiri, kan mantap juga.

No comments: